Seorang teman memberikan komentar di salah satu grup, “Aini ini, belum kuliah udah tau tempat-tempat wisata di sana”. Hihi..ya iya lah, selebelum ke sana kan udah nanya dulu ke Mbak Wiki dan Om Gugel. Percakapan ini dimulai saat teman yang lainnya memberikan ucapan tahniah untuk cerita saya sebelumnya dan mulailah yang lain memberikan ucapan dan komentar-komentarnya. Menurut saya, mencari tahu tentang tempat yang akan kita datangi adalah hal yang sangat penting, bahkan hukumnya wajib. Karena, kita tidak akan jadi kerbau yang hidungnya dilobangi, ikut saja kian kemari. Setidaknya sudah ada sedikit pengetahuan tentangnya.
Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, saya ke kota ini hanya sendiri. Biasanya masalah tiket, pembayaran, dan milih pesawat dibantuin sama teman (yang biasanya juga ikut dalam penerbangan). Tapi, kali ini benar-benar sendiri. Pemesanan tiket biasanya melalui teman yang menjadi agen tiket, tapi kali ini ingin mencoba memesan dengan menggunakan Traveloka (ga apa-apa nyebutin merek, itung-itung testi dari pelanggan). Pemesanannya mudah, cepat, dan yang paling penting terpercaya. Saat ini, belum ada pesawat langsung dari Pekanbaru ke Semarang. Jadi, harus transit ke Jakarta atau Batam. Kalau tidak salah 1.5 jam untuk Pekanbaru-Jakarta dan 50 menit untuk Jakarta-Semarang.
Dari 4 kali ganti pesawat (pulang-pergi), saya selalu mendapat urutan kursi bagian A atau F. Ini berarti keduanya bagian kursi di sebelah jendela. Saya jadi bisa melihat hamparan awan putih seperti kapas. Rasanya ingin menjadi Goku di cerita Dragon Balls yang punya awan King Ton. Berlarian di awan, tidur-tiduran, main petak umpet (helloww..ingat umur neng 😀 ) dan ternyata itu hanya mimpi. Mau naik kendaraan darat maupun udara, saya selalu memperhatikan awan. Selalu ada daya tarik tersendiri untuk melihatnya. Kadang, seperti melihat taman yang dipenuhi anak-anak yang bermain dengan girangnya, melihat seseorang sedang melakukan suatu aktifitas. Ada yang berwajah murung atau gembira. Melihatnya sama seperti membaca sebuah dongeng pengantar tidur. Ah, dia mulai gila..
Ceritanya dari Bandara Soeta ya. Selama beberapa kali transit yang pernah dilakukan (bahkan bermalam di sana 😀 ), saya baru tau ada musholla yang lebih nyaman dibandingkan dengan musholla di ruang tunggu yang hanya berukuran 2×2.5 meter. Letaknya di sebelah kanan dari pemeriksaan terakhir sebelum masuk ke Gate 4 (kalau tidak salah). Kenapa nyaman? Karena (1) Letak kamar kecil dan tempat wudhu’ antara laki-laki dan perempuan di batasi dinding hingga menyentuh plafon dan tempatnya tertutup. Jadi aman buat joget (?). (2) Ada 2 cermin besar: satu di sebelah kamar kecil dan dilengkapi dengan handsoap, jadi keluar kamar kecil bisa bersih-bersih sebelum wudhu’. Satu lagi di sebelah tempat wudhu’. Ya, tempat rapi-rapi sebelum sholat lah. (3) Ruangan dilengkapi AC, luas, dan bersekat antara laki-laki dan perempuan. Perkiraan saya ukuran ruangannya 7.5×3.5 meter. Ada rak untuk meletakkan barang atau mukena. (4) Bersih dan pelayanan dari mbak yang ada di sana ramah. Minusnya, AC nya kurang terasa. Tapi di sini lebih baik daripada di luar.
Saya berangkat ke Semarang hari Jum’at jam 8.30 dan sampai di wisma jam 16.30 (kelamaan di jalan) dan di sambut sama Ara yang mau balik ke Jakarta. Makan malam di Oppa Pizza, ambil Steak Paket A. Katanya tempat makan ini baru buka beberapa bulan yang lalu, tapi karena konsep dan desain tempat yang menarik dengan harga terjangkau, tempat ini menjadi tempat tongkrongan baru. Isi paket yang saya pilih ada steak ayam, nasi putih, dan es teh dengan harga hanya 13.500 perak. Es di sini bening kok, ga putih, mudah-mudahan aman.
Hari ke-2
Sebelum cek lokasi ujian, kita makan Soto Surabaya. “Tempatnya agak ga meyakinkan mbak, tapi rasanya enak”, kata Eva. Benar saja, tempatnnya berada di belakang sebuah tempat makan. Sebelum masuk ada tulisan di dinding pagar beton dengan “tanda panah soto masuk dalam”. Ternyata sudah banyak orang yang melahap makanan berkuah itu. Kami mencari posisi, kemudian menyantap soto dengan isian nasi, irisan kol, mie, bawang goreng, dan (mungkin) kerupuk yang sudah dihancurkan. Lokasi dan kondisi sekitar memang sederhana, namun benar kata Eva, sotonya enak meski enak karena mecin dan manis. Si Dida pernah bilang julukan untuk sotonya JTE (Jor*k Tapi Enak) 😀 Oya, harganya cuma 5rebo.
Malamnya beli pecel lele di warung “Lesehan Jepang” (saya lupa tepatnya apa, yang jelas ada unsur jepangnya) tak jauh dari wisma. Karena di wisma ada nasi, kita cuma beli lauk seharga 6.500,-. Rasanya lumayan.
Hari ke-3, tes.
Sebelum ke kampus untuk tes, pagi ini diantarin Eva (lagi) untuk sarapan di Pecel Bu Har (padahal lagi kurang enak badan, tapi si Eva nya tetap mau ngantar, hiks..) Pecelnya hampir sama dengan yang ada di Pekanbaru. Namun, isiannya agak berbeda. Ada nasi (sesuai pesanan, mau pakai nasi atau lontong), potongan kacang panjang, sayur (kol, daun singkong/kangkung), potongan tahu, dan seabreg pilihan gorengan sesuai selera. Ada tempe mendoan, tahu isi, bakwan biasa, bakwan udang, bayam tepung, telor ayam rebus, telor dadar, telor puyuh, isian usus, dan beberapa gorengan yang tak terdeteksi oleh saya apa namanya. Saya hanya memilih gorengan bakwan udang. Yang uniknya dari penyajian pecal ini adalah wadahnya adalah koran yang dialas dengan daun pisang dan dijepitkan dengan lidi dan semua kegiatan potong-memotong dilakukan dengan gunting. Yang ngantri? Hah..buanyakkk.. Rasanya lumayan (masih dengan nuansa manis 😀 ) dan dengan harga 6 atau 7ribu.
Dikarenakan tes, siangnya dikasi nasi kotak dengan lauk pecel ayam yang tetap manis 😀 Malamnya diajak makan sama Naila dan Dida ke Pecel Kuah, masih di sekitaran wisma. Pecel dikuahin? Kalau menurut saya ini mah namanya asam pedas atau gulai (saya ga ingat rasanya pakai santan atau tidak, langsung lahap karena kelaparan), karena rasanya lebih mirip gulai daripada pecel kebanyakan. Namun rasanya agak sedikir asam, karena saya tambahkan jeruk nipis yang mereka kasi di nasi saya. Haha.. Yap, dengan nama yang unik dan rasa yang lumayan (tidak terlalu manis, bahkan bisa dibilang terasa pedasnya), membuat tikar digelar oleh pemilik warung. Karena dua ruangan ruko (ukuran satu ruko berisi 2 meja isian 12 orang dan 2 meja tempel untuk ukuran 12 orang juga) sudah tak muat menampung pelanggan. Harga untuk gurami pecel kuahnya hanya 8ribu.
Sebelum sholat Isya, oom yang tinggal di sana datang bersama istri dan anak bontotnya, dengan membawa bontot juga (martabak telor dan martabak bandung) 😀 Selesai sholat diajak jalan-jalan melihat Semarang. Malam itu bisa melihat ramainya Simpang Lima dan dibawa ke Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang punya payung buka tutup seperti di Mekkah. Katanya payung itu hanya dibuka setiap hari jum’at dan lebaran. Naik ke menara lantai 9 melihat pemandangan Semarang malam hari, tapi sayang teropongnya lagi rusak. Dan pulangnya penghuni wisma menyantap beberapa jenis makanan yang tersedia. Kebetulan El juga baru pulang dari Solo, jadi dia bawa Intip, makanan khas Solo. Hampir sama seperti Kipang dari Sumatra barat. Namun, bagian tengahnya agak cekung dengan toping berbahan gula merah yang disiram acak.